add Facebook admin Haflah Garudany -- Hanya dimengerti ketika terjadi -- Bawalah yang kau temui walau bukan yang kau cari

28 Desember 2011

Yakin?*

Oleh: Haflah

Baru Satu Tepukan
Tepukan tangan akhwat shaf belakang
Duduk di antara yang berdiri
Mencoba mengingatkan
...
...
Dia pun kembali ikut berdiri


Atas Kertas, 21:54
6/7 2010

(*Kabarnya Pemenang 1 lomba internal FLP Bandung kategori puisi Edisi 15 th 2011)

20 Desember 2011

PNS Sebagai Titik Aman

Oleh: Dhanyawan Haflah, S.Sos.I*

(Dimuat di Tribun Jabar, 15 Desember 2011)



“Selamat, anda sampai pada titik aman yang pertama!”



Itulah ungkapan yang sering terdengar pada babak kursi panas kuis Who Wants to Be a Millionaire yang tenar pada beberapa tahun lalu. Acara yang diperkenalkan di Britania Raya pada tahun 1998 yang formatnya telah diadaptasi dan dilisensikan ke banyak stasiun televisi di lebih dari 100 negara, termasuk Indonesia.

Babak kursi panas dilakukan setelah penyaringan dari beberapa kontestan. Yang menarik dari babak ini adalah adanya keuntungan aturan titik aman pada point pertanyaan tertentu dan nominal hadiahnya tertentu. Aturan ini kini banyak diadaptasi kuis-kuis lainnya di Indonesia. Titik Aman pertama biasanya ada pada pertanyaan dengan nominal hadiah Rp. 1.000.000.

Jika sebelum mencapai titik aman pertama kontestan menjawab salah, maka uang yang dikumpulkan dari hasil menjawab dengan benar pertanyaan sebelumnya akan hangus dan peserta pulang dengan tangan hampa. Berbeda jika berhasil melewati titik aman tersebut, walaupun salah pada jawaban pertanyaan berikutnya, kontestan paling tidak tetap mendapatkan Rp. 1.000.000, misalnya. Begitu seterusnya sampai menjumpai titik aman berikutnya dan nominal hadiah tertinggi.

Gambaran permainan tersebut sepertinya bisa dibandingkan dengan keberadaan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) di mata sebagian masyarakat saat ini, saat posisi PNS diburu sebagai pekerjaan dan sumber mata pencaharian semata, dan pengabdian bukan bagian darinya. Jika berhasil menduduki salah satu kursi PNS maka seolah titik aman telah berhasil diraihnya. Apapun yang dilakukan setelahnya, maka paling tidak gaji pokok masuk ke rekening setiap kali tanggal gajian.

Alasan yang tak jauh berbeda juga diincar kaum hawa. Tanpa perasaan bersalah, dengan alasan bahwa perempuan itu akan menjadi seorang istri bahkan ibu yang dituntut untuk lebih focus mengurusi rumah tangga, maka cita-cita menjadi PNS adalah jalan keluar yang baik, karena bisa menjamin ekonomi tanpa terlalu berat menanggung kerja.

Maka berbagai usaha pun dilakukan, dari yang halal; berjubel dengan pengantri ribuan lain pada tes CPNS, sampai seseleket mengorek lubang haram; suap, menjilat, menginjak. Dengan harapan bisa secepatnya mendapatkan posisi yang diinginkannya tersebut, entah itu menjadi guru atau ditempatkan pada dinas apapun.

Alhasil, sampailah mereka pada tujuan. Kursi PNS pun didapatkan; dengan mudah atau susah payah. PNS dianggap seolah hadiah atau apresiasi dari prestasi yang didapatkannya. Maka bolos atau kerja seenaknya pun seolah tak menjadi masalah. Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Azwar Abu Bakar pun mengkritik kinerja para PNS dalam bekerja, menurutnya ketika menjadi PNS mereka justru menjadi malas bekerja, berbeda dengan sebelum mereka menjadi PNS.

Pada titik aman pertama tersebut, para oknum PNS pun berpeluang untuk menempuh jalur lain sehingga bisa sampai pada titik aman berikutnya dengan “hadiah” yang lebih menggiurkan, bahkan lebih mudah, tidak berhenti pada nominal satu milyar. Banyak pintu kesempatan korupsi yang terbuka.

Secara mengejutkan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap temuan adanya sejumlah PNS yang memeiliki rekening miliaran rupiah. Sebuah nominal yang tidak wajar bagi keuangan PNS golongan III B. Diduga, seumlah uang tersebut bersumber dari penyelewengan dana proyek, suap, dan modus lainnya.

Memang tidak semua, bahkan apresiasi harus ditujukan kepada PNS yang mengarungi perjalanan karir ke-PNS-annya dengan jujur, melalui seleksi murni atau prestasi tanpa uang suap. Mengisi jam-jamnya dengan semangat kerja dan kreatifitas yang baik tanpa tergoda rayuan dan kesempatan melakukan “kerja sampingan”. Baginya lebih baik makan hati dari pada makan uang korupsi; makan hati karena kejujurannya yang malah dipersalahkan oleh oknum PNS rekan sekantor yang curang.

Dari titik ini kita bisa melihat perbedaan Kursi Panas PNS dengan Kursi panas yang terdapat pada kuis-kuis tadi. Bedanya, pada perjalanan menuju titik aman pada kuis terbilang mudah karena pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan dasar yang tidak terlalu rumit. Namun pada pengangkatan menjadi PNS, sepertinya untuk mencapai titik aman ini terbilang sulit. Ada yang melalui seleksi berjubel dengan pengantri lainnya yang beberapa kali lipat lebih banyak dari jumlah kursi kosong yang disediakan, atau bahkan “ngamodal terlebih dahulu untuk suap.

Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu korupsi kemudian.

Seperti isu-isu yang sebelumnya yang sanggup mengalihkan perhatian, semua mata kini mengawasi para PNS-PNS muda, seolah merekalah yang paling bersalah. Walaupun sebenarnya korupsi tidak bisa diperhitungkan berdasarkan usia. Tua atau muda sepertinya bukan ukuran, tetapi memang berpengaruh. Pengalaman dari jam terbang justru lebih banyak dimiliki para senior, oknum PNS-PNS muda mungkin hanya apes karena ketidaksabaran dalam melakukan aksinya dan kurangnya pengalaman sehingga mudah terbongkar.

PNS adalah mata rantai terakhir aliran uang-uang yang menumpuk dan tidak tersalurkan tersebut. Logika umumnya, aliran mengalir dari atas dan mengacu kepada atasan; kepada yang lebih senior (tua). Bisa jadi para PNS muda atau juniornya ini hanya merupakan rekan yang menjadi korban permainan para senior, yang secara jam terbang lebih berpengalaman dan bisa mengemas dengan lebih rapi. Wallahu a’lam, hanya pengusutan yang bisa membuktikan dan membeberkan perkara sebenarnya yang terjadi.

Menanggapi kemalasan dan temuan aliran mencurigakan yang dicurigai sebagai korupsi dari para PNS yang nakal ini, masyarakat sepertinya sedang menunggu gerakan dari pihak-pihak terkait sampai tingkat tertinggi pemerintahan di negeri ini, di tengah antrian kasus-kasus besar lainnya yang terlebih dahulu tercium busuknya.

Semoga saja pernyataan Presiden SBY yang menghendaki pemberantasan korupsi tidak hanya seremoni pada saaat perayaan hari anti korupsi pada tanggal 9 Desember 2011, dibarengi juga dengan pengawalan yang serius. Jika tidak, sepertinya masyarakat tidak bisa disalahkan jika akhirnya menganggap ucapan tersebut hanya sekedar isi pidato seremonial menjelang seremoni peringatan hari anti korupsi.


Bandung, 8 Desember 2011


Dhanyawan Haflah

Divisi Humas Pemuda Persatuan Islam Cabang Pameungpeuk Kab. Bandung

aktif di FLP Bandung dan staf Perpustakaan Salman ITB.

21 November 2011

Anak-Emas Kita

Di tengah gegap gempita Seagames dan perolehan medali emas-nya yang sangat banyak, bahkan berpotensi menjadi juara umum -walau ada kabar, entah dari mana, bahwa negara lain hanya mengirim atlet lapis kedua sebagai persiapan dan latihan menghadapi ajang yang lebih bergengsi- limpahan emas di papua yang dikelola PT. Freeport entah bagaimana nasibnya.

Di tengah kemeriahan perayaan dan kebanggaan Pulau Komodo yang disebut sebagai bagian new7wonders -dan polemiknya- Badak Jawa diambang kemusnahan. Yang jelas mereka; Badak Jawa dan Komodo, sekarang sedang lapar.

Adalah Tibo, Patrich, Okto; pahlawan Garuda Muda dari Papua yang tanahnya sedang terombang-ambing dan memanas. Penyelesaian masalah di tanah mereka adalah hadiah yang sangat berharga bagi usaha mereka membela nama bangsa.


17 November 2011

Galeri Karya

kreasi kertas koran Dhanawan Haflah, hasil praktek dari salah satu buku Karajinan Kertas Koran

13 November 2011

Restu


(Cerpen Dhanyawan Haflah*)

Ada yang punya info lowongan? Atau ada yang butuh SDM untuk lembaganya? Ada yang bisa saya bantu?

Status di akun fb-nya kali ini.

Menggunakan layanan social network gratis dari salah satu nomor penyedia layanan, Rahmat tetap terhubung dengan dunia walau sekedar melalui jaringan maya. Sekedar mengucapkan selamat beraktifitas di pagi hari. Mempublish keluh kesahnya, kekonyolan laku hidupnya. Meminta do’a kesuksesan. Semua dilakukan dengan menggunakan jasa gratisan. Seadanya.

Banyak silaturrrahmi banyak rejeki, landasannya. Mencoba untuk tetap meyakini prinsip dasar itu. Setelah menutup kembali akun dan men-charge Hp-nya, Rahmat berbaring. Dipinggir kasur tipis dengan pakaian yang belum sempat diganti. Istrinya masuk, membawakan segelas air putih.

“Gimana?” Tanya istrinya seperti wanita yang telah lama menanti kabar dari jauh yang dibawa pengantar surat.

Tak sabar ingin segera membuka titipan yang dibawanya.

“Ada, de’, tapi itu untuk proyekan bulan depan, masih lama.” Jawabnya dengan nada lemah. “Lagipula itu bukan kerjaan tetap, hanya membantu kepanitiaan program penyuluhan.”

Harus tetap bersyukur, kan?. Gumam sang istri dalam hati. Mencoba tabahkan diri. Jika bersyukur, maka nikmat akan ditambah. Gumam pula hati suami seolah mereka sedang melakukan percakapan dan saling tahu apa yang dipikirkan masing-masingnya. Walau nikmat itu masih sebatas rencana di bulan depan baru bisa diusahakan untuk menjemputnya.

Berbekal janji Tuhan yang jadi prinsipnya di saat tak banyak daya yang bisa dilakukan seperti sekarang ini, Rahmat mengunjungi teman-teman dan mantan-mantan rekan yang sempat kerja bareng. Mulai dari teman masa kuliah, sampai ke rekan rintisan bisnis yang sempat dikenal sampai sebelum dia memutuskan menikah. Sembari menunggu panggilan dari lamaran-lamaran kerja yang tak kunjung memanggil.

Sempat pula Rahmat Silaturrahim dengan mantan Bos yang memutuskan untuk memberhentikan dirinya. Kondisi keuangan dan konflik intern menjadi alasan klasik yang ditawarkan untuk mengobati hati bawahan yang disodori surat pemberhentian kerja.

Orang yang disebutnya bos itu adalah kakak kelasnya sewaktu berkuliah dulu. Bahkan dengannya sudah seperti rekan, dan teman. Banyak program kampus yang mereka terlibat bersama. Setelah lulus kuliah, Rahmat diajak untuk membantu perusahaan yang kini tengah dikembangkannya. Rahmat setuju. Dia memang membutuhkannya. Walaupun sarjana, lagu Sarjana Muda yang dibawakan Iwan Fals sangat cocok baginya pada saat itu.

Bermodalkan pekerjaan yang dipegangnya itu pula, dan dengan gajinya yang hanya bisa disebut seadanya, Rahmat memberanikan diri menikahi Asiyah. Kepercayaan Rahmat pada jatah rejeki Tuhan yang tidak akan salah alamat menguatkan niatnya. Orang-orang yang menikah tanpa punya pekerjaan tetap sebelumnya pun, banyak yang bisa bertahan, dan akhirnya hidup dengan kecukupan, pikirnya.

Lima bulan usia kehamilan istrinya kini, ujian benar-benar menimpa. Semenjak dua bulan yang lalu, pemberhentian resmi diterimanya. Dan selama itu pula, Rahmat mengandalkan sisa-sisa gaji dan tabungan yang terpaksa harus ditarik kembali untuk mengisi kebutuhan sehari-harinya; susu untuk awal kehamilan, suplemen makanan janin, pemeriksaan rutin, dan tentu saja membayar kontrakan. Naas, di bulan kedua ini, tak ada cukup uang lagi untuk kontarakannya. Rahmat pun kembali menumpang di rumah mertua.

Pekerjaan serabutan coba dia tempuh. Dengan bernada guyonan kepada istrinya, dia menyebut kini bekerja sebagai “pria panggilan”. Panggilan terakhir adalah dari kawannya yang menjadi panitia untuk manasik haji tahun ini, dua minggu lalu.

Waktu itu, jadwal “kunjungan” dirinya silaturrahim ke rumah Erwin di daerah Banjaran. Mengetahui kondisi kawannya saat ini, Erwin menawarkan peluang untuk berjualan buku-buku atau ditugaskan menjadi pengatur kendaraan di lokasi manasik.

Mengingat berjualan buku lama lagi prosesnya dengan para agen penerbitan, Rahmat memilih menjadi juru parkir, dengan resiko pendapatan yang untung-untungan. Tergantung pemberian pemilik kendaraan. Belum lagi harus dibagi dengan personel parkir yang lain.

Tak apalah dirinya lapar, yang penting istri harus tetap makan. Harus tetap ada asupan gizi yang cukup yang otomatis diperuntukkan bagi si jabang bayi. Rahmat ingin bayinya sehat, apapun yang harus dilakukannya. Pada tahap perjananan dan taraf kehidupan seperti ini, Rahmat tahu, dia kini merasa semakin sayang kepada istrinya. Bahkan sudah sangat sayang kepada makhluk yang kini belum ada di alam dunia-pun.

***

Selepas maghrib, seolah tak puas mengadu pada Yang Maha Kaya, Maha Memberi, Rahmat menyendiri di teras belakang, beralas tikar, berbungkus kain sarung. Kembali mengadu dan mengatur strategi menjalani sisa hidup dan cara mengambil rejeki, diskusi antara penyedia dan pengguna rejeki.

Do’a orang tua dan istri tak henti dia pinta untuk mendukung kesuksesan. Orang-orang yang dihutangi pun telah dia datangi sekedar meminta do’a agar cepat melunasi. Dan sekarang, tak ada salahnya dia silaturrahmi kembali dengan kawan-kawannya di dunia maya. Mumpung Hp istrinya ini belum sampai dijual juga, menyusul hp miliknya yang telah terlebih dahulu bertukar uang. Tak terpikir baginya menjual motor jadul kesayangan, karena sekarangpun BPKB-nya masih di”sekolah”kan oleh ayahnya di Bank.

Satu pemberitahuan.

Aheyy.

Hanya itu tulisan tertera di bawah status yang diupdatenya terakhir kali, tentang mencari pekerjaan. Rahmat tahu, Agathis adalah akun milik Santi, terlihat dari foto profilnya. Dadanya mendadak serasa ditekan, ada yang mengganjal. Pikirannya menerawang, menerka-nerka. Ada sedikit malu dan rasa bersalah yang baru beriak. Teringat pada satu masa. Sebelum dia menikah.

“Mungkinkah ini bisa membawa pengaruh?” bisik Rahmat untuk dirinya sendiri, di kesunyian yang terlewatkan ,“apa aku terlalu menganggapnya remeh?”

***

Assalamu’alaikum

Hai apa kabar? Lama tak jumpa. Tak kusangka nama pohon itu kau jadikan nama fb-mu.. J

Aku baca komentmu di statusku. Entah mengapa, bagi ku itu bernada seolah hinaan. Sangkaku, sambil menulis itu kau menyumpahiku, dan mengucap syukurmu. Aku menyangkakau mengira aku playboy yang kena batunya. Hidup miskin tanpa kerjaan yang tetap. Istri yang cemberut setiap hari dan menderita. Bersyukur Tuhan memisahkanmu dariku yang mengkhinatimu.

Berawal perkenalan dari fb. Semakin dekat dan rindu. Kita pun bertemu. Aku mengunjungimu di Bandung. Di akhir perpisahan kunjungan balasanmu ke Cianjur , di dekat pohon berlabel Agathis di Kebun Raya Cibodas, kau menitipkan gantungan Hp bentuk bola kecil, dan aku menghadiahkanmu sebuah Novel.

Aku bahagia waktu itu. Mungkin juga dirimu. Mengisyaratkan rasa sayang dan perjumpaan kembali. Sampai masih-masing dari kita, memutuskan hal yang tidak diketahui satu sama lain. Namun, aku menikah. (dan kau tak datang.. J)

Kau sepertinya tahu aku saat ini. Aku mengirimimu pesan pribadi bukan berharap dapat pekerjaan darimu. Aku hanya membutuhkan maaf yang belum sempat kupinta atas ingkar dari janji yang tak terucapkan dan restumu yang belum sempat kau sampaikan di hari pernikahanku.

Aku akan sangat malu jika analisisku ini salah, malu padamu dan pada Tuhanku, telah berburuk sangka atau terlalu percaya diri. Aku berharap kali ini aku akan malu.

Nuhun.. semoga cepat menyusul… J

Rahmat menekan tombol send di layar monitor, dia kirim pesan ke inbox akun Agathis. Pengetikan dia edit sekenanya, pulsa warnet yang dia perhitungkan. Terlalu repot pula jika menulis sebanyak itu di layanan gratis Hp. “Entah berpengaruh atau tidak bagi rejekiku, bukankah menyelesaikan urusan dengan manusia adalah menyambung juga tali itu...?“ gumam dirinya.

Keluar dari bilik warnet, terbayang daftar teman yang memungkinkan untuk dikunjunginya dengan bekal yang semakin menipis, “… hendak menyelesaikan urusan dengan manusia, bukan mengakhirinya.”

***

Bandung, 06 Oktober 2011

*Dhanyawan Haflah, lahir di Bandung, 07 Oktober 1987. Staf Perpustakaan Masjid Salman ITB. Bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung.


07 November 2011

Perhatikan Sajadah Anda!!


*Judul Asli "Sajadah Kadang Jadi Masalah" dari pustakaalatsar

Shalat dengan beralaskan Sajadah adalah hal yang lumrah dilakukan oleh kaum muslimin hari ini. Berbagai bentuk, ukuran, dan corak Sajadah pun berkembang dari waktu ke waktu, bahkan sekarang sudah menjadi pemandangan biasa jika karpet masjid bercorak Sajadah dengan ukuran yang beragam pula. Entahlah…apakah ini merupakan bukti kreativitas manusia atau kelihaian tipu daya syaitan untuk menggoda anak Adam. Lho! Apa hubungannya Sajadah dengan syaitan la’natullah?

Mendirikan Shalat berjamaah adalah disyariatkan bagi muslim laki-laki. Sekian banyak dalil dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang shahih mengarah kepada hukum wajibnya shalat berjamaah. Meskipun ada pendapat lain yang menyimpulkan hukum yang berbeda, namun tidak akan dibahas pada tulisan ini.

Diantara kesempurnaan dalam shalat berjamaah adalah meluruskan dan merapatkan shaff (barisan shalat), sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengingatkan kepada para sahabatnya sebelum memulai takbir:

سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ

“Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kesempurnaan sholat”. [Shahih Muslim 433]

Makna dari “luruskan shaf-shaf kalian” yakni, lurus dan seimbanglah dalam bershaf sehingga kalian seakan-akan merupakan garis yang lurus, jangan salah seorang di antara kalian agak ke depan atau agak ke belakang dari yang lainnya, serta merapat dan tutuplah celah-celah kosong yang berada di tengah shaf.


Dan dikatakan bahwa meluruskan shaf termasuk kesempurnaan shalatyakni penyempurna sholat. Sesuatu dikatakan sempurna jika telah sempurna seluruh bagian-bagiannya, sehingga satu bulan dikatakan sempurna jika harinya sudah genap 30.

Selain memerintahkan untuk meluruskan shaf, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga memerintahkan untuk menyambung atau merapatkan shaf, sebagaimanan diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu Ta’ala ‘anhuma- beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

أَقِيْمُوُا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّمَا تَصُفُّوْنَ بِصُفُوْفِ الْمَلاَئِكَةِ, وَحَاذُوْا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسَدُّوْا الْخَلَلَ وَلِيْنُوْا بِأَيْدِيْ إِخْوَانِكُمْ وَلاَ تَذَرُوْا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ. وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Luruskan shaf-shaf kalian karena sesungguhnya kalian itu bershaf seperti shafnya para malaikat. Luruskan di antara bahu-bahu kalian, isi (shaf-shaf) yang kosong, lemah lembutlah terhadap tangan-tangan (lengan) saudara kalian dan janganlah kalian menyisakan celah-celah bagi setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya) dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya)”. [HR.Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’iy dan lainnya. Dishohihkan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah 743]

Lalu, apa yang terjadi jika setiap anggota jamaah membentangkan sajadahnya masing-masing dan tiap-tiap orang berdiri di tengah-tengah sajadahnya? Atau pada masjid-masjid yang sudah dipasang karpet bermotif Sajadah, lalu setiap jamaah menganggap bahwa setiap kotak adalah “jatahnya” sehingga masing-masing pun berdiri di tengah-tengah tiap kotak sajadah. Akhirnya, yang terlihat adalah kerenggangan shaf dengan jarang kerenggangan yang berbeda-beda tergantung dari lebar masing-masing sajadah. Menyedihkan! Itulah yang banyak dijumpai di masjid-masjid kaum muslimin di negeri kita. Tidak semuanya, tapi pemandangan seperti itu paling banyak dijumpai. Ditambah lagi, kebanyakan Imam langsung “tancap gas” (bertakbir begitu iqomat selesai) tanpa melihat jamaah dan mengatur shaf. Padahal Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam selalu mengatur barisan sebelum takbiratul ihram seperti beliau mengatur barisan pasukan perang.

Entah apa yang menjadi latar belakangnya. Apakah sikap meremehkan dengan dalih “ah…yang penting kan shalat berjamaah”, atau karena kebodohan kaum muslimin yang sudah sedemikian parah sehingga untuk urusan shaf saja tidak tahu. Laa haula walaa quwwata illa billah. Padahal telah shahih contoh dari suri tauladan yang paling baik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, diiringi pula dengan perintah beserta motivasi dan ancaman.

Padahal, jika keutamaan meluruskan dan merapatkan shaf ini diketahui, tentu setiap muslim akan bersemangat untuk mengamalkannya disaat banyak orang melalaikannya. Janji yang begitu besar disampaikan dari ‘A`isyah -radhiallahu Ta’ala ‘anha- berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

مَنْ سَدَّ فُرْجَةً رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً وَبَنَى لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

“Barang siapa yang menutupi suatu celah (dalam shaf), niscaya Allah akan mengangkat derajatnya karenanya dan akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga” [HR.Ibnu Majah Al-Qozwini dalam Sunan-nya (1004). Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Muhammad Nashir Al-Albany -rahimahullah- dalam Shohih Sunan Ibnu Majah (1004) dan At-Ta’liq Ar-Roghib (1/335) cet. Maktabah Al-Ma’arif , tahun 1421 H]

Dan jika setiap muslim telah mengetahui adanya ancaman yang serius bagi siapa yang tidak meluruskan dan merapatkan shaf, tentu seorang muslim tidak akan pernah melanggarnya. Pada hadits sebelumnya telah dikabarkan bahwa ketidakrapatan shaf memberi celah kepada syaitan, sedangkan ketidaklurusan shaf bisa menyebabkan kaum muslimin berselisih, sebagaimana hadits berikut ini:

http://www.blogger.com/img/blank.gifلَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ

“Kalian akan benar-benar meluruskan shaf, atau Allah benar-benar akan membuat hati-hati kalhttp://www.blogger.com/img/blank.gifian berselisih”. [HR. Al-Imam Al-Bukhory dalam Shohih-nya (717), dan Muslim dalam Shohih-nya(436)]

Adanya Sajadah tidaklah menjadi masalah, selama tidak ada gambar makhluk hidup atau motif-motif lain yang bisa mengganggu kekhusyu’an dalam shalat. Namun terkadang adanya Sajadah menjadi masalah, tatkala yang punya Sajadah tidak mengetahui ilmu tentang mengatur barisan shalat. Betapa indahnya, jika setiap muslim memahami dan mengamalkan perintah meluruskan dan merapatkan shaf ini, sehingga sesama jamaah bisa saling berbagi Sajadah, bahu dan kaki saling menempel sehingga ukhuwah pun semakin kuat.



Sumber: Pustakaalatsar
Bahan Bandingan bisa juga lihat di http://melartholic.blogspot.com/

24 Oktober 2011

Larut

Puisi: Ady Fauzi Rahmani

Seiring Malam.
Kian pekat
Menggenapi detik mengalun di antara
hening jam dinding
Di lengang gang sisa hujan
Saat tengadah menghadang purnama
Kudengar samar di sela pucuk

*Klik Ady Fauzi Rahmani

06 Juli 2011

Tustel dan Penangkapan

Ada banyak moment menarik selama kehidupan ini berlangsung, sangat sayang jika terlewatkan dan tak bisa ditemubalik.

Kalian tahu kan apa itu tustel?. Tustel seperti puisi, sama-sama penangkap. Bedanya, puisi berbicara tentang menangkap dan mendengar bunyi, sedangkan tustel berbicara tentang penangkapan cahaya pada suatu objek. Tak perlu juga aku jelaskan di sini apa definisinya, sejarah perjalanan penemuannya, tentang membalikan bayangan, tentang pencahayaan, tentang perawatannya, tentang percobaan awalnya, siapa penemu awalnya, berapa harganya saat ini dari berbagai merk-nya, atau tentang bagaimana hukumnya menangkap cahaya pada suatu objek dan menggambarnya dalam kertas glossy. Untuk yang terakhir itu, coba saja tanya MUI. Yang pasti, kini aku sedang menyukai tustel.

Sejak di pesantren dulu, saya selalu diajarkan untuk bertindak sesuai argument yang jelas, alasan yang yang diterima secara agama, apalagi dalam urusan ibadah, harus ada gurat huruf yang dijadikan landasannya. Singkatnya, segala bentuk ibadah harus disertai dengan pembuktian, entah itu al-Qur’an atau petunjuk nabi dalam tindak-tanduk-nya; ucapan, perbuatan, ataupun sekedar bentuk persetujuan dari beliau saw.

Ternyata hal itu dikuatkan dengan sebuah dialog dalam cerita yang saya suka. Walau bukan ditulis oleh penulis aslinya, sir Arthur Conan Doyle, tapi cerita yang ditulis Michael Citrin & Tracy Mack itu melanjutkan serial Sherlock Holmes bersama Laskar Jalanan Baker Street. Aku hanya mempercayai apa yang aku lihat dan yang bisa dijelaskan secara logis, begitulah kira-kira inti dialog itu (Buktinya bisa dicari di buku tersebut).Tanpa bukti, sulit bagi detektif manapun untuk menyeret si pelaku yang sudah jelas ketahuan, alibi yang meragukan, bahkan triknya telah terpecahkan.

Tanpa bukti. Keyakinan mulia ini pun tak berguna, tanpa bukti tertulis tentang perilaku yang didasarkan ibadah, tak bergunalah usaha mencari pahala tersebut, alih-alih keridloan Tuhan, malah murka-Nya lah yang didapat dan berwujud neraka. Itu bagi yang percaya. Sebuah tulisan shahih cukuplah bagiku menjadi penjelasan logis yang walau tak bertemu langsung dengan sang Pujaan SAW. Saat kita shalat, ada bukti nyata yang memerintahkannya, saat harus malam-malam terjaga dan berdoa dalam shalat, tak akan sia-sia karena jelas terdokumentasikan landasannya. Begitu pula dalam beribadahan yang lain, shaum, zakat, nisfu sya’ban (?), rajaban (?), dsb.

Tanpa bukti pula, misalnya, seorang bupati mungkin tidak percaya bagaimana kondisi jalanan pinggiran kota dan kondisi derita masyarakat yang melaluinya. Mungkin juga itu sebabnya tidak bersegera diperbaiki.

Ajaran mendasar itu yang coba aku terapkan. Oleh karena itulah, saat ini saya sedang tertarik, menginginkan, dan membutuhkan sebuah tustel jaman ini. Tak mengapa walau sekedar digital biasa atau yang seperti professional. Entah itu membeli ataupun hasil pemberian.

Makanya..

Jika kalian mau memberiku hadiah, atau kado, atau apapun alasannya, maka biarkanlah Tustel itu yang menjadi isinya. Tak perlu lah kalian cari tahu kapan hari lahirku untuk membungkusnya dan mengkadokannya, karena hari lahirku takkan terulang, saat itu adalah 24 tahun yang lalu, tak mungkin aku lahir kembali sebenar-benarnya lahir dari rahim seorang wanita. Atau tak perlu juga kalian menunggu kapan aku disunat untuk member hadiah itu, karena saat juga telah belasan tahun yang lalu, tak sanggup kalian ke sana. Hari ini saja, karena aku memerlukannya hari ini. Jika tidak hari ini, minggu depan tidak apa-apa, aku masih sanggup menahan keinginanku itu.

Hehehe.. ngarep…

***

6 Juli 2011 di atas meja kerja. Sekedar menangkap kata dan suara

(Gambar Kamera di catatan ini diambil dari http://www.tustel.com/)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...