add Facebook admin Haflah Garudany -- Hanya dimengerti ketika terjadi -- Bawalah yang kau temui walau bukan yang kau cari

02 April 2012

Resensi Buku

Belajar Anti Korupsi dari Kisah-kisah Islam


Judul Buku: Kisah-kisah Islam Anti Korupsi

Penulis: Nasiruddin Al-Barabbasi

Penyunting: Yadi Saeful hidayat

Penerbit: Mizania, Bandung.


“Hadiah untuk Nabi adalah benar-benar hadiah, sedangkan untuk kita sekarang hadiah adalah suap.”

Demikianlah sikap Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang sangat hati-hati dalam mensikapi sebuah pemberian yang bisa terindikasi sebagai suap. Beliau sadar posisinya sebagai pejabat tinggi sangat rawan jilatan dan suap atau yang sering disebut sekarang dengan gratifikasi.

Kemuakan masyarakat terhadap wakil-wakil mereka yang dititipi amanat jabatan untuk mengatur dan menata negerinya mungkin sama sebagaimana dirasakan oleh Abu Nawas yang digambarkan pada salah satu kisah di dalam buku ini. Abu Nawas muak melihat kemungkaran di depan matanya. Pemimpin negerinya sebetulnya orang baik, tetapi para pejabat kerajaan lainnya adalah orang-orang rakus. Mereka belum merasa cukup dengan gaji yang tinggi. Dengan segala daya mereka berusaha mengeduk keuntungan sebanyak-banyaknya, tak peduli halal ataupun haram. Kas negara digerogoti sedikit demi sedikit, dan para menteri bersekongkol dalam perbuatan curang. Siapa pun orangnya, dan di negara manapun jika memandang situasi tersebut pastilah pula setuju dan merasakan apa yang dirasa oleh Abu Nawas.

Fenomena di atas bermuara pada satu kata, Korupsi. Tidak jauh berbeda dengan yang kita lihat di dunia nyata negara sekarang ini, tanpa harus meminjam mata Abu Nawas di dunianya. Bahkan sejak dulu korupsi sudah nyaman dipraktekan, tentunya tergantung harapan supaya tidak terjadi di masa depan. Paling tidak budaya korupsi bisa berkurang.

Korupsi bukanlah perkara uang Negara yang berlimpah. Korupsi bukanlah hanya milik para pejabat tinggi suatu negeri. Perilaku korupsi dan benih-benihnya terjadi pula pada harta yag sedikit dan jabatan yang paling rendah sekalipun.

Di saat korupsi telah akut di suatu negeri, pendidikan tentang kejujuran dan amanah adalah suatu yang sangat penting. Nilai-nilai anti korupsi sudah harus diterapkan pada setiap pendidikan yang dilakukan, terutama pada generasi-generasi muda agar mereka mendapat pemahaman dan pengertian tentang korupsi, berbagai modusnya sampai ke perkara-perkara yang dikategorikan korupsi, serta akibat yang bisa terjadi karena korupsi tersebut. Sehingga bisa berpikir ulang saat terbesit untuk melakukan hal-hal yang mengarah pada ketidakjujuran, pengkhianatan, dan terakumulasi pada satu kata, Korupsi.

Dalam salah satu kisahnya pun, buku ini menerangkan pentingnya mengajarkan dan mengenalkan kejujuran dari orang tuan terhadap anaknya. Diceritakan bahwa seorang ibu memanggil anaknya dengan menjanjikan akan memberi kurma, supaya anaknya mau memenuhi panggilannya, maka Rasul bersabda, “Seandainya engkau tidak memberinya sesuatu, niscaya engkau akan dicatat sebagai wanita pendusta.”

Buku Kisah-kisah Islam Anti Korupsi ini berpusat pada dua kata, jujur dan amanah. Dua sikap yang diwakili kata tersebut menjadi kunci bisa terjadi atau tidaknya korupsi, dari jabatan yang paling bawah sampai yang paling tinggi, dari uang atau harta yang sedikit sampai jumlah yang tak terkira besarnya. Sebagai salah satu contoh tentang kisah Khalifah yang harus menutup hidung karena tidak mau sekedar menghirup wangi dari minyak wangi yang bukan haknya.

Buku ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi tentang keutamaan sikap jujur dan amanah, berisi teladan dari Rasul Allah terakhir Muhammad SAW tentang sikap jujur dan kehati-hatian beliau dalam menjalankan amanah. Bagian kedua, barulah dikisahkan cerita-cerita penuh makna, bahkan sebagian ada yang ringan dan diceritakan tidak sampai setengah halaman. Kisah penuh hikmah yang bisa diambil pelajaran mengagumkannya tentang sikap anti-korupsi dalam Islam. Sebuah nilai yang sudah harus digali dari sebuah cerita. Menjadikan Anti-Korupsi sebagai bagian dari jihad ummat Islam.

Sambutan dari Prof. Dr. K.H. Miftah Faridl, seorang cendekiawan muslim “Buku ini menyajikan pengalaman orang-orang jujur, sukses, dan memperoleh berkah karena menjauhi korupsi”, cukup menjadi pengantar untuk membaca dan menerapkan nilai-nilai dari cerita yang terdapat dalam buku ini. Meskipun termasuk buku yang terbit beberapa tahun yang lalu, bahkan mendapat sambutan pula di sampul depannya dari Antasari Azhar yang masih menjabat sebagai Ketua KPK saat itu, tetapi masih sangat berguna mengingat Korupsi harus dilawan saat ini dan sampai kapanpun. Wallahua’lamu.

Dhanyawan Haflah, Staf Perpustakaan Salman ITB.

Resensi Novel Sakura*


Rindu pada Suatu Haru

Judul : Sakura
Penulis : Nova Ayu Maulita
Penerbit : PT. Lingkar Pena Kreativa

Adakah yang lebih bahagia daripada duduk berdampingan dengan bunga jelita itu menyusuri sisa usia?” (Ajip Rosidi, dalam novel Candra Kirana)


Siklus bermekaran bunga sakura terjadi setahun sekali pada musim semi (Haru) di antara akhir bulan Maret sampai awal bulan April, dan aktivitas yang ditunggu ketika itu adalah Hanami. Hanami adalah ritual duduk santai memandangi bunga sakura yang bermekaran. Orang jepang bisa berlama-lama dan sengaja meluangkan waktu menikmati sakura pada suatu Haru. Berbeda dengan siklus yang terjadi di Jepang, bunga sakura yang beberapa tahun belakang hadir di Indonesia, salah satunya di Kebun Raya Cibodas Cianjur, terjadi dua kali antara bulan Januari-Februari serta Agustus-September. Tidak ada kegiatan ber-hanami di sini.

Sakura yang ada di Indonesia, sebagaimana sakura yang mungkin tumbuh di Negara lain, sepertinya hanya sanggup menjadi Cherry Blossom dibandingkan utuh sebagai jati diri Sakura. Cherry Blossom adalah padanan kata untuk Bunga Sakura, namun demikian, seolah bunga Sakura dan Cheery Blossom adalah dua bunga yang berbeda. Bagi Jepang, sakura lebih dari sekedar rumpun bunga. Sakura sanggup menyimpan banyak cinta, harapan, kerinduan. Dan Jepang sanggup pula menjadikan Hanami pada setiap haru begitu melekat. Negara lain boleh memiliki Cherry Blossom, tetapi Sakura Hanya Milik Jepang.

Persoalan mental, etos kerja, kedispilinan, spirit Jepang sebagai sebuah bangsa yang paripurna menegakan peraturan, penghargaan terhadap ilmu, dan disokong perbenturan kebudayaan yang sangat kontradiksi antara Jepang dan Indonesia menjadi pertimbangan lain yang mempengaruhi berbedanya rasa Sakura yang ada di Jepang dan dengan yang ada di Indonesia, contohnya. Terlebih perayaan mereka terhadap kedatangan Sakura yang melekat.

Persoalan-persoalan itulah yang diangkat oleh Nova Ayu Maulita sebagai background cerita yang tertuang dalam novel Sakura ini. Perbedaan nilai lintas negara, keberagaman budaya bahkan terkesan bertentangan, serta faktor keberagamaan yang kompleks diambil dari sudut pandang seorang Muslim yang tidak terjebak pada simbol dan perbincangan yang kaku serta menempatkan Islam yang selalu benar.

Menggunakan judul Sakura, tidak banyak filosofi bunga sakura yang diceritakan dalam novel ini, namun cukup mewakili dan menjadi penggerak cerita untuk menyatakan kerinduan dan harapan. Sakura adalah bunga yang bisa menjadi simbol kerinduan tempat menitipkan cinta.

Satu di antara yang mewakili keterlibatan bunga sakura adalah kebanggaan masyarakat Jepang bahwa bunga sakura hanya milik mereka. Ketika Kirana, yang menjadi tokoh utama, menginginkan untuk membawa sakura ke kampung halamannya di Indonesia dengan iklim dan tentu saja budaya yang berbeda dengan Jepang, Takayama Hiro mengungkapkan kebanggan tersebut dan ketidakbisaannya.

Dalam episode lain, walau Kirana mungkin tahu bahwa botol terisi kelopak sakura yang dia simpan di kamar singgah selama dia berada di Jepang menjelang kepulangan ke Indonesia, bisa saja secara fisik terbuang oleh pemilik asli rumah yang disinggahinya. Namun tanpa kehadirannya pun, Kirana tahu dia telah menitipkan rindu Jepang kepada sakura.

“Titipkan saja cintamu pada sakura. Kemudian datanglah lagi ke Jepang pada suatu Haru nanti!”

***

Kirana Anggraeni berada di jepang hanya untuk waktu yang sebentar. Menjalani program mahasiswa pertukaran di Tokyo Gaikokugo Daigaku. Universitas tempat belajar berbagai bahasa dan budaya asing, termasuk Indonesia. Kirana dibimbing seorang teman sekaligus tutor laki-laki bernama Takayama Hiro, mahasiswa yang mempelajari bahasa indonesia. Selain Hiro, Kirana menjalani kehidupan pertemanan, dan sedikit persinggungan dengan cinta, bersama Andreas, Sandra, Voleak, Wahib, Grace. Mereka mewakili Simbol-simbol kenegaraan dan bahkan keberagaman dan keberagamaan.

Cerita Kirana ketika berada di Jepang sebelum akhirnya kembali pelang ke Indonesia, cukup singkat. Setidaknya hanya terurai dalam delapan bab. Namun demikian, itu cukup untuk menjadi pondasi kuat keberlangsungan cerita, bahkan hal mendasar pembangun emosi terurai pada bab-bab pertama. Kerinduan kembali menginjakkan kaki ke negeri sakura menjadi sangat emosinal, terutama kerinduan akan kebersamaan dengan seseorang yang ditinggalkan dengan segala cita-citanya. Kerinduan yang telah dititipkan kepada kelopak bunga sakura.

Kerinduan tersebut dibalut dengan konflik yang rumit dan beragam dalam bingkai aktifitas Kirana di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) GARIS. Sebuah LSM yang konsen menangani dalam hal perilaku seks bebas di kalangan remaja, dan menyeret Kirana beserta kawan-kawan kampusnya bersinggungan langsung dengan dunia seks bebas. Bahkan karena terlalu dianggap memalukan dan melecehkan ketika hendak mengadakan acara yang mengundang mantan pelaku dan korban seks bebas, GARIS dituntut untuk dibubarkan.

Kerinduan akan pertemuan kembali dengan Hiro mulai dibenturkan dengan perbedaan agama antara dia dengan Hiro yang menjadi tembok besar sesungguhnya dari pada rintangan jarak. Pada bagian ini kirana baru menyadari dan mengakui bahwa kerinduannya yang dititipkan pada sakura, tak hanya tentang kembali ke Jepang. Tetapi juga tentang catatan hati perempuan terhadap seorang laki-laki. Sebagai sebuah pembuktian witing trisno jalaran soko kulino. Dan kenyataan itu tak bisa lagi ditutupi oleh dirinya sendiri saat ayahnya di Dukuh Wanastri menjodohkannya dengan Ridwan.

Saling silang cinta Kirana, Andreas, Candra, Ridwan, dan tentu saja Hiro dijalin dengan apik dan pada titik tertentu tidak tertebak sebelumnya. Kirana mulai mencintai Hiro, begitu pula Hiro, dan saat itu pula Kirana sempat dihubungkan dengan Andreas, temannya semasa di Jepang. Ridwan ditawarkan menjadi suami atas permintaan orang tuanya. Candra hadir mencintai Kirana dan terlintas pula memikirkan Tasya yang seorang pekerja seks sebagai pengganti Kirana jika proposal nikahnya ditolak. Di sisi lain Candra juga merupakan alternatif bagi Kirana sebagai pengganti Ridwan yang tidak dicintainya dan Hiro yang mulai redup peluangnya. Dan kurasa hanya satu penyelesaiannya. Aku memang harus segera memilih satu di antara dua. Begitu tulis Nova Ayu Maulita sebagai bisikan Kirana menjelang bab terakhir.

***

Novel Sakura memberikan ruang kepada pembaca untuk terlibat dalam cerita, selain Point of View yang berubah-ubah, ending secara keseluruhan pun menggoda pembaca untuk ikut menentukan akhir cerita.

Semua nama untuk cinta Kirana pada akhirnya memang mengkerucut pada dua nama. Hiro menjadi salah satunya. Sakura memang memutuskan salah satu dari keduanya, namun penulis tidak menyebutkan nama, sehingga pembaca masih bisa memilih dan menebak-nebak siapa sebenarnya yang pada akhirnya merangkul tangan Kirana untuk berdakwah dan hidup dengan suasana jepang serta sakurannya pada ending yang singkat. Hal tersebut pula membuka peluang bagi pembaca untuk mebalik kembali halaman dan membaca beberapa titik yang bisa menjawab siapakah orang tersebut. Selain itu, bagaimana Hiro yang non-Muslim dan berada di Negara lain bisa menjadi salah satu dari dua kandidat calon suami pilihan Kirana, menarik untuk ditelusuri.

Ruang juga terbuka untuk pembaca karena buku ini berpotensi positif terhadap minat membaca karya sastra lainnya. Ketika film Ada Apa dengan Cinta (AAdC) sukses, berimbas kepada buku kumpulan Puisi Khairil Anwar yang dilibatkan dalam film tersebut menjadi buku yang paling diburu saat itu. Maka bukan tidak mungkin hal itu berlalu pula pada karya tulis, dalam hal ini Novel Sakura yang melibatkan novel Candra Kirana sebuah saduran atas sebuah Cerita Panji karya Ajip Rosidi, sastrawan Indonesia yang lama tinggal di Jepang.

Candra Kirana menjadi salah satu unsur pembangun cerita yang cukup penting selain bunga sakura, yang memperdalam perasaan dan sebuah takdir cinta yang dirasakan sebagai sebuah kebetulan. Dua cinta terhadap dua nama yang hadir dalam cinta Kirana secara tidak langsung diikat oleh buku Candra Kirana yang berkisah tentang Panji Kuda Wening Pati, Sekar Taji, dan Anggraeni. Beberapa nama tokoh bahkan terlihat sama.

Satu fakta budaya menarik tentang membaca pun kembali terbuka ketika Takayama Hiro yang Asli Jepang lah yang justru menunjukan luasnya bacaan dan kecintaan terhadap sastra Indonesia dibandingkan Kirana yang asli orang Indonesia dan lebih pantas untuk memiliki dan membanggakan karya-karya seperti karya Chairil Anwar, Marah Rusli, Sutan Takdir, Ajip Rosidi, dan sebagainya. Pada satu kesempatan di perpustakaaan, Hiro menunjukan novel Candra Kirana yang disukainya kepada Kirana. Entah mungkin karena kesukaannya terhadap Kirana yang menarik minat Hiro sehingga mempunyai perhatian lebih terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan namanya. Kirana.

Novel tersebut terlibat kembali pada kesempatan lain, ketika Kirana mempertimbangkan untuk menerima proposal lamaran dari Candra. Selain memang hatinya sudah terbuka atas kehadiran Candra, Kirana teringat buku Candra Kirana yang membuatnya tersipu membayangkan kecocokan nama. Mungkin memang benar ucapan tokoh kartun rekaan Aoyama Gosho, takdir yang dirasa sebagai sebuah kebetulan itu akan memperdalam cinta. Walau tak ada yang namanya kebetulan. Semuanya sudah diatur oleh yang maha Kuasa. Sebagaimana takdir yang menimpa Panji Kuda Wening Pati, Sekar Taji, dan Anggraeni, dalam cerita Candra Kirana.

Sakura memang sudah menjadi milik Jepang, dengan segala latar belakangnya. Namun Sakura kini memang hadir di Indonesia walau sekedar dengan kehadiran Cherry Blossom serta kehadiran novel yang ditulis Nova Ayu Maulita ini. Rasa Jepang dibawa ke Indonesia berbalutkan Sakura dalam 376 halaman cerita, dengan beberapa titik yang mendetail serta kisah pengiring khas dari kacamata penulis yang sempat tinggal di negara tersebut dan mengalami langsung perbedaan kulturnya dengan Indonesia. Selamat ber-Hanami. Bukan memandangi bunga sakura tetapi membaca Sakura.

Dhanyawan Haflah

Bandung, 20 Februari 2012


*Untuk Lomba Resensi FLP Pusat

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...