Kalian tahu kan apa itu tustel?. Tustel seperti puisi, sama-sama penangkap. Bedanya, puisi berbicara tentang menangkap dan mendengar bunyi, sedangkan tustel berbicara tentang penangkapan cahaya pada suatu objek. Tak perlu juga aku jelaskan di sini apa definisinya, sejarah perjalanan penemuannya, tentang membalikan bayangan, tentang pencahayaan, tentang perawatannya, tentang percobaan awalnya, siapa penemu awalnya, berapa harganya saat ini dari berbagai merk-nya, atau tentang bagaimana hukumnya menangkap cahaya pada suatu objek dan menggambarnya dalam kertas glossy. Untuk yang terakhir itu, coba saja tanya MUI. Yang pasti, kini aku sedang menyukai tustel.
Sejak di pesantren dulu, saya selalu diajarkan untuk bertindak sesuai argument yang jelas, alasan yang yang diterima secara agama, apalagi dalam urusan ibadah, harus ada gurat huruf yang dijadikan landasannya. Singkatnya, segala bentuk ibadah harus disertai dengan pembuktian, entah itu al-Qur’an atau petunjuk nabi dalam tindak-tanduk-nya; ucapan, perbuatan, ataupun sekedar bentuk persetujuan dari beliau saw.
Ternyata hal itu dikuatkan dengan sebuah dialog dalam cerita yang saya suka. Walau bukan ditulis oleh penulis aslinya, sir Arthur Conan Doyle, tapi cerita yang ditulis Michael Citrin & Tracy Mack itu melanjutkan serial Sherlock Holmes bersama Laskar Jalanan Baker Street. Aku hanya mempercayai apa yang aku lihat dan yang bisa dijelaskan secara logis, begitulah kira-kira inti dialog itu (Buktinya bisa dicari di buku tersebut).Tanpa bukti, sulit bagi detektif manapun untuk menyeret si pelaku yang sudah jelas ketahuan, alibi yang meragukan, bahkan triknya telah terpecahkan.
Tanpa bukti. Keyakinan mulia ini pun tak berguna, tanpa bukti tertulis tentang perilaku yang didasarkan ibadah, tak bergunalah usaha mencari pahala tersebut, alih-alih keridloan Tuhan, malah murka-Nya lah yang didapat dan berwujud neraka. Itu bagi yang percaya. Sebuah tulisan shahih cukuplah bagiku menjadi penjelasan logis yang walau tak bertemu langsung dengan sang Pujaan SAW. Saat kita shalat, ada bukti nyata yang memerintahkannya, saat harus malam-malam terjaga dan berdoa dalam shalat, tak akan sia-sia karena jelas terdokumentasikan landasannya. Begitu pula dalam beribadahan yang lain, shaum, zakat, nisfu sya’ban (?), rajaban (?), dsb.
Tanpa bukti pula, misalnya, seorang bupati mungkin tidak percaya bagaimana kondisi jalanan pinggiran kota dan kondisi derita masyarakat yang melaluinya. Mungkin juga itu sebabnya tidak bersegera diperbaiki.
Ajaran mendasar itu yang coba aku terapkan. Oleh karena itulah, saat ini saya sedang tertarik, menginginkan, dan membutuhkan sebuah tustel jaman ini. Tak mengapa walau sekedar digital biasa atau yang seperti professional. Entah itu membeli ataupun hasil pemberian.
Makanya..
Jika kalian mau memberiku hadiah, atau kado, atau apapun alasannya, maka biarkanlah Tustel itu yang menjadi isinya. Tak perlu lah kalian cari tahu kapan hari lahirku untuk membungkusnya dan mengkadokannya, karena hari lahirku takkan terulang, saat itu adalah 24 tahun yang lalu, tak mungkin aku lahir kembali sebenar-benarnya lahir dari rahim seorang wanita. Atau tak perlu juga kalian menunggu kapan aku disunat untuk member hadiah itu, karena saat juga telah belasan tahun yang lalu, tak sanggup kalian ke sana. Hari ini saja, karena aku memerlukannya hari ini. Jika tidak hari ini, minggu depan tidak apa-apa, aku masih sanggup menahan keinginanku itu.
Hehehe.. ngarep…
***
6 Juli 2011 di atas meja kerja. Sekedar menangkap kata dan suara
(Gambar Kamera di catatan ini diambil dari http://www.tustel.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk Post-kan komentar:
mulailah mengetik komentar anda kemudian pada kolom select profile pilih Anonymous..(pilih yag lain juga boleh, jika ada. Kemudian Klik 'Poskan komentar'.
Wilujeng!!!