(Dimuat di Tribun Jabar, 15 Desember 2011)
“Selamat, anda sampai pada titik aman yang pertama!”
Itulah ungkapan yang sering terdengar pada babak kursi panas kuis Who Wants to Be a Millionaire yang tenar pada beberapa tahun lalu. Acara yang diperkenalkan di Britania Raya pada tahun 1998 yang formatnya telah diadaptasi dan dilisensikan ke banyak stasiun televisi di lebih dari 100 negara, termasuk Indonesia.
Babak kursi panas dilakukan setelah penyaringan dari beberapa kontestan. Yang menarik dari babak ini adalah adanya keuntungan aturan titik aman pada point pertanyaan tertentu dan nominal hadiahnya tertentu. Aturan ini kini banyak diadaptasi kuis-kuis lainnya di Indonesia. Titik Aman pertama biasanya ada pada pertanyaan dengan nominal hadiah Rp. 1.000.000.
Jika sebelum mencapai titik aman pertama kontestan menjawab salah, maka uang yang dikumpulkan dari hasil menjawab dengan benar pertanyaan sebelumnya akan hangus dan peserta pulang dengan tangan hampa. Berbeda jika berhasil melewati titik aman tersebut, walaupun salah pada jawaban pertanyaan berikutnya, kontestan paling tidak tetap mendapatkan Rp. 1.000.000, misalnya. Begitu seterusnya sampai menjumpai titik aman berikutnya dan nominal hadiah tertinggi.
Gambaran permainan tersebut sepertinya bisa dibandingkan dengan keberadaan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) di mata sebagian masyarakat saat ini, saat posisi PNS diburu sebagai pekerjaan dan sumber mata pencaharian semata, dan pengabdian bukan bagian darinya. Jika berhasil menduduki salah satu kursi PNS maka seolah titik aman telah berhasil diraihnya. Apapun yang dilakukan setelahnya, maka paling tidak gaji pokok masuk ke rekening setiap kali tanggal gajian.
Alasan yang tak jauh berbeda juga diincar kaum hawa. Tanpa perasaan bersalah, dengan alasan bahwa perempuan itu akan menjadi seorang istri bahkan ibu yang dituntut untuk lebih focus mengurusi rumah tangga, maka cita-cita menjadi PNS adalah jalan keluar yang baik, karena bisa menjamin ekonomi tanpa terlalu berat menanggung kerja.
Maka berbagai usaha pun dilakukan, dari yang halal; berjubel dengan pengantri ribuan lain pada tes CPNS, sampai seseleket mengorek lubang haram; suap, menjilat, menginjak. Dengan harapan bisa secepatnya mendapatkan posisi yang diinginkannya tersebut, entah itu menjadi guru atau ditempatkan pada dinas apapun.
Alhasil, sampailah mereka pada tujuan. Kursi PNS pun didapatkan; dengan mudah atau susah payah. PNS dianggap seolah hadiah atau apresiasi dari prestasi yang didapatkannya. Maka bolos atau kerja seenaknya pun seolah tak menjadi masalah. Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Azwar Abu Bakar pun mengkritik kinerja para PNS dalam bekerja, menurutnya ketika menjadi PNS mereka justru menjadi malas bekerja, berbeda dengan sebelum mereka menjadi PNS.
Pada titik aman pertama tersebut, para oknum PNS pun berpeluang untuk menempuh jalur lain sehingga bisa sampai pada titik aman berikutnya dengan “hadiah” yang lebih menggiurkan, bahkan lebih mudah, tidak berhenti pada nominal satu milyar. Banyak pintu kesempatan korupsi yang terbuka.
Secara mengejutkan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap temuan adanya sejumlah PNS yang memeiliki rekening miliaran rupiah. Sebuah nominal yang tidak wajar bagi keuangan PNS golongan III B. Diduga, seumlah uang tersebut bersumber dari penyelewengan dana proyek, suap, dan modus lainnya.
Memang tidak semua, bahkan apresiasi harus ditujukan kepada PNS yang mengarungi perjalanan karir ke-PNS-annya dengan jujur, melalui seleksi murni atau prestasi tanpa uang suap. Mengisi jam-jamnya dengan semangat kerja dan kreatifitas yang baik tanpa tergoda rayuan dan kesempatan melakukan “kerja sampingan”. Baginya lebih baik makan hati dari pada makan uang korupsi; makan hati karena kejujurannya yang malah dipersalahkan oleh oknum PNS rekan sekantor yang curang.
Dari titik ini kita bisa melihat perbedaan Kursi Panas PNS dengan Kursi panas yang terdapat pada kuis-kuis tadi. Bedanya, pada perjalanan menuju titik aman pada kuis terbilang mudah karena pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan dasar yang tidak terlalu rumit. Namun pada pengangkatan menjadi PNS, sepertinya untuk mencapai titik aman ini terbilang sulit. Ada yang melalui seleksi berjubel dengan pengantri lainnya yang beberapa kali lipat lebih banyak dari jumlah kursi kosong yang disediakan, atau bahkan “ngamodal” terlebih dahulu untuk suap.
Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu korupsi kemudian.
Seperti isu-isu yang sebelumnya yang sanggup mengalihkan perhatian, semua mata kini mengawasi para PNS-PNS muda, seolah merekalah yang paling bersalah. Walaupun sebenarnya korupsi tidak bisa diperhitungkan berdasarkan usia. Tua atau muda sepertinya bukan ukuran, tetapi memang berpengaruh. Pengalaman dari jam terbang justru lebih banyak dimiliki para senior, oknum PNS-PNS muda mungkin hanya apes karena ketidaksabaran dalam melakukan aksinya dan kurangnya pengalaman sehingga mudah terbongkar.
PNS adalah mata rantai terakhir aliran uang-uang yang menumpuk dan tidak tersalurkan tersebut. Logika umumnya, aliran mengalir dari atas dan mengacu kepada atasan; kepada yang lebih senior (tua). Bisa jadi para PNS muda atau juniornya ini hanya merupakan rekan yang menjadi korban permainan para senior, yang secara jam terbang lebih berpengalaman dan bisa mengemas dengan lebih rapi. Wallahu a’lam, hanya pengusutan yang bisa membuktikan dan membeberkan perkara sebenarnya yang terjadi.
Menanggapi kemalasan dan temuan aliran mencurigakan yang dicurigai sebagai korupsi dari para PNS yang nakal ini, masyarakat sepertinya sedang menunggu gerakan dari pihak-pihak terkait sampai tingkat tertinggi pemerintahan di negeri ini, di tengah antrian kasus-kasus besar lainnya yang terlebih dahulu tercium busuknya.
Semoga saja pernyataan Presiden SBY yang menghendaki pemberantasan korupsi tidak hanya seremoni pada saaat perayaan hari anti korupsi pada tanggal 9 Desember 2011, dibarengi juga dengan pengawalan yang serius. Jika tidak, sepertinya masyarakat tidak bisa disalahkan jika akhirnya menganggap ucapan tersebut hanya sekedar isi pidato seremonial menjelang seremoni peringatan hari anti korupsi.
Bandung, 8 Desember 2011
Dhanyawan Haflah
Divisi Humas Pemuda Persatuan Islam Cabang Pameungpeuk Kab. Bandung
aktif di FLP Bandung dan staf Perpustakaan Salman ITB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk Post-kan komentar:
mulailah mengetik komentar anda kemudian pada kolom select profile pilih Anonymous..(pilih yag lain juga boleh, jika ada. Kemudian Klik 'Poskan komentar'.
Wilujeng!!!