(http://persis.or.id/?p=487)
Setiap tanggal 21 April, kelahiran Kartini selalu diperingati seolah sudah menjadi ritual wajib tahunan di negeri ini. Kartini dimitoskan sebagai sosok wanita Indonesia yang pertama yang memperjuangkan hak-hak kaumnya. Karena selalu dibincangkan di mana-mana dan selalu diperingati, benak orang kebanyakan di negeri ini dipaksa untuk percaya bahwa wanita inilah yang menjadi pendobrak tradisi menuntut emansipasi kaum wanita.
Setiap tanggal 21 April, kelahiran Kartini selalu diperingati seolah sudah menjadi ritual wajib tahunan di negeri ini. Kartini dimitoskan sebagai sosok wanita Indonesia yang pertama yang memperjuangkan hak-hak kaumnya. Karena selalu dibincangkan di mana-mana dan selalu diperingati, benak orang kebanyakan di negeri ini dipaksa untuk percaya bahwa wanita inilah yang menjadi pendobrak tradisi menuntut emansipasi kaum wanita.
Sama seperti pengetahuan lain pada umumnya, bila sudah dimitoskan seolah-olah ia merupakan kebenaran yang taken for granted. Jarang ada yang mempertanyakan kembali apakah memang Kartini yang pertama kali dan mempelopori perjuangan kaum wanita menuntut haknya? Kalau memang ada yang lain, kenapa harus Kartini yang dipilih? Benarkah ia melawan tradisi yang sudah mengakar pada bangsa ini atau hanya melawan tradisi di lingkungan keluarganya?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tidak akan pernah lewat dalam benak orang yang sudah kadung memitoskan Kartini. Bahkan saat kemudian ada yang secara serampangan mengaitkan Kartini dengan semangat gerakan “feminisme” a la Barat masa kini, tidak ada pula yang menggugatnya. Kata “emansipasi” pun akhirnya bergulir bak bola salju menjadi padanan lain dari “fenimisme” dan “liberalisasi kaum wanita”. Padahal kalau kita mau sedikit lebih Kritis “mendewakan” Kartini dan menyamaratakannya dengan ide feminisme Barat adalah tindakan yang gegabah dan terlalu terburu-buru.
Kartini dan Wanita Lain dalam Sejarah Indonesia
Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Padahal saat itu, menurut klaim buta para ‘pengikut’ Kartini, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.
Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini.
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan unek-uneknya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Kalau Kartini dikenal hanya karena ‘belas kasihan’ Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan). Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiran-pikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini.
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.
Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Din dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sultanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan. Dan kalau sudah ada wanita yang menjadi sultan atau panglima perang, secara kultural berarti tidak ada hambatan sama sekali bagi para wanita untuk berkiprah dalam berbagai lapangan sosial. Masyarakatnya sudah terbiasa hidup dalam budaya yang menempatkan kaum wanita dalam posisi seperti itu.
Kenapa Kartini?
Pertanyaannya: kenapa harus Kartini? Kalau jawabannya hanya karena Kartini berkorespondensi dengan wanita-wanita Belanda dan berkisah tentang ketertindasan wanita Jawa di sekelilingnya, jelas terlalu mengada-ada untuk menempatkannya menjadi tokoh yang sangat hebat di negeri ini. Bukankah banyak (tidak hanya satu) wanita yang lebih hebat pada zamannya, bahkan jauh sebelumnya? Inilah yang patut menjadi dasar penyelidikan kritis atas mitos Kartini yang selama ini sudah kadung dipercayai banyak orang.
Banyak orang yang menyangsikan kebenaran buku yang diterbitkan Abendanon itu sebagai berisi surat-surat Kartini. Selain sampai saat ini tidak pernah ditemukan naskah asli surat-surat yang ditulis-tangan sendiri oleh Kartini, isinya pun terlalu hebat untuk anak usia belasan tahun. Lagi pula, hanya surat-surat yang berkenaan dengan ketertindasan wanita yang diterbitkan Abendanon. Tidakkah Kartini juga bercerita hal lain?
Dari sini muncul kecurigaan, jangan-jangan buku itu hanya rekayasa Abendanon. Kalaupun itu benar-benar surat Kartini, pasti sudah ada proses editing yang dilakukan sebelum diterbitkan. Harus diberi garis bawa bahwa Abendanon adalah seorang menteri Hindia Belanda yang sedang bergelut dengan Politik Etis saat buku itu diterbitkan. Sangat mungkin bahwa buku itu adalah salah satu wujud kebijakan politik lipstik yang tengah dimainkan Belanda.
Kenapa bukan Rohana Kudus atau Cut Nyak Din dan kawan-kawan yang diangkat oleh Belanda? Jelas sangat tidak mungkin Belanda mengangkat mereka. Bagi Belanda mereka adalah musuh yang harus ditumpas dan dihancurkan. Sepanjang hayat para wanita hebat itu, tidak pernah tercatat bahwa mereka menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Selain itu, visi keislaman yang tegas dari para wanita seperti Rohana Kudus sangat tidak mereka senangi. Tentang perjuangannya memajukan kaum wanita, Rohana menjelaskan, “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan.” Wallâhu A‘lam bi Al-Shawwâb.
(http://persis.or.id/?p=487)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk Post-kan komentar:
mulailah mengetik komentar anda kemudian pada kolom select profile pilih Anonymous..(pilih yag lain juga boleh, jika ada. Kemudian Klik 'Poskan komentar'.
Wilujeng!!!