Wanita perkasa, itulah sebutan bagi para wanita di Negeri ini yang bekerja dan membanting tulang layaknya lelaki, bahkan tidak jarang pekerjaan yang dikerjakanya melebihi dari kapasitasnya sebagai kaum hawa yang lemah lembut. Sebutlah Srikandi. Entah ini suatu keberhasilan atas mimpi dan cita Kartini, hingga kaum Srikandi ini tidak hanya ada sebagai mantan Presiden, Walikota, Kepala Polisi, dan caleg. Tapi ia juga ada di tempat-tempat yang sangat tidak terduga. Mereka bekerja sebagai supir truk raksasa, menjadi tukang tambal ban, menjadi tukang becak, menjadi tukang ojek dan masih banyak deretan pekerjaan yang lainnya yang memiris keringat dan air mata.
Wanita perkasa, itulah sebutan bagi para wanita di Negeri ini yang bekerja dan membanting tulang layaknya lelaki, bahkan tidak jarang pekerjaan yang dikerjakanya melebihi dari kapasitasnya sebagai kaum hawa yang lemah lembut. Sebutlah Srikandi. Entah ini suatu keberhasilan atas mimpi dan cita Kartini, hingga kaum Srikandi ini tidak hanya ada sebagai mantan Presiden, Walikota, Kepala Polisi, dan caleg. Tapi ia juga ada di tempat-tempat yang sangat tidak terduga. Mereka bekerja sebagai supir truk raksasa, menjadi tukang tambal ban, menjadi tukang becak, menjadi tukang ojek dan masih banyak deretan pekerjaan yang lainnya yang memiris keringat dan air mata.
Negeri ini mencoba menjunjung tinggi cita dan mimpi kartini menjadi srikandi. Sang wanita yang gagah dan berani. Hingga di setiap pelosok Negeri ini sorak dan teriakan emansipasi wanita dan kesetaraan gender ramai di bicarakan.
Tuntutan perjuangkan kemerdekaan sebagai kaum hawa yang selalu dinomorduakan dan dipicingkan mata, dengan pangkat dan label yang membuat gerah dan panas di telinga dan hati mereka. Gelar makhluk penggoda, hingga gelar itu tersemat di tubuhnya “Racun Dunia”.
Wanita yang selalu digarda belakang. Sebagai tiang penyokong. Karena dibalik kesuksesan pria dibelakangnya ada seorang wanita. Sekarang mereka ingin maju ke depan. Menghantam tembok perbedaan. Tidak mau hanya sebagai tiang negara tapi juga ingin menjadi tombak negara.
Terlepas dari boleh dan tidak, tapi mari kita mengevaluasi kembali di hari wanita ini. Apa betul yang telah diraih dan dikerjakan wanita Indonesia sekarang ini telah sesuai dengan cita dan mimpi Kartini. Seperti Menjadi supir truk, menjadi tukang becak, menjadi tukang tambal ban. Inikah kesataraan yang diidamkan seorang wanita.
Sekarang bila saja Ibu Kartini masih hidup. menangis atau tertawakah ia?.
Isu ini menjadi bias. Apa yang mereka idamkan “hak atau kesataraan”?. Berawal dari keinginan mencoba melepas belenggu tradisi yang merugikan wanita. Yang selalu menjadi objek eksploitasi keindahan rayu gombal sang buaya, hingga karier yang terbatas yaitu Dapur.
Menelaah kembali mimpi dan cita kartini yang menjadi inspirasi dan semangat para wanita. Apa salahnya? Karena penulis yakin ketika kartini menjadi istri yang keempat dari sang Bupati. Pasti para Srikandi kita langsung mengerutkan dahi akan keengganannya.
Mari kita menjernihkan kembali kebiasan keinginan para Srikandi ibu pertiwi ini. Dan menyimpan dulu apa itu emansipasi dan kestaraan yang mereka usung.
Wanita adalah tiang kehidupan dan tiang negara. Jelas apa jadinya bila semua maju kemedan perang. Pasti Akan ada kekosongan wilayah. Kokoh di hadapan rapuh di belakang.
Kita pernah mendengar kisah perang Uhud ketika para pemanah menjadi tiang kekuatan. Kemenangan. Maka kemenangan sirna begitu saja ketika mereka (Pemanah) meninggalkan tempatnya.
Para Srikandi mau tidak mau harus menerima, bahwa gelar “Ibu” itu tersemat telah menjadi kodratnya bagi seluruh wanita. Tapi sayang mereka bersikeras dengan berdalih mimpi kartini dan berhujah emansipasi seolah-olah melegalkan dirinya tuk merubah kodratnya.
Dan terbukti kini banyak Istri yang tidak mau menjadi seorang Ibu. Hingga anak bingung yang mana Ibunya, karena banyak anak kini telah menjadi anak pembantunya. Sekarang para balita Negeri ini tidak pernah lagi merasakan ASI (air susu ibu)-nya sendiri. mereka ganti dengan air susu binatang (sapi) .
Maka tak aneh jiwa keprimanusian kini perlahan hilang mungkin karena status anak-anak sekarang telah berubah menjadi anak-anak sapi atau binatang. Mungkin itu hanya guyonan sambil lalu. Yang jelas kriminalitas yang terus bertambah di bumi ini itu karena telah kosongnya posisi ibu, sebagai para pendidik. Tangisan anak karena telinganya dijewer Ibunya. Karena mengajarkan tatakrama kehidupan. Kini telah hilang tertelan bumi seiring fungsi ibu tidak berlaku lagi.
Padahal dongeng dan kisah fungsi ibu yang mendidik anak-anaknya dan kehebatannya. Bertebaran dimana-mana. Ingatkah akan dongeng Bagaimana seorang Ibu sanggup merubah anaknya, menjadi apapun. Sekalipun merubahnya menjadi batu . Dan pernahkah kita mendengar kisah kehebatan seorang ibu yang dapat menghentikan kejahatan sang penjahat besar yaitu Kariyolan.
Maka pantasnyalah para Srikandi Negri ini untuk memikirkan dan kembali pulang ke gardanya masing-masing. Yaitu melahirkan tokoh-tokoh hebat. Yaitu Bukhori yang cerdas, Edison yang jenius, hingga lahir kembali Ahmad Hasan baru, Moh Natsir yunior dan melahirkan para Panglima dan Pemimpin Negri yang tangguh.
Pesanku untuk para Srikandi. Silahkan untuk menimbang kembali. Akan mimpi dan cita-cita Kartini. Karena tidak pantaslah menjadikan dalih bagi seorang wanita Indonesia, untuk enggan menjadi seorang Ibu. Bahwa Kartini tidak pernah menjadi seorang Ibu. Tapi bukankah itu karena Allah SWT telah terlebih dahulu memulangkan kepangkuaNya. Sebelum ia sempat menimang anaknya yang pertama. Tapi wahai para Srikandi. Patutlah kalian ketahui, bahwa Kartini justru rela mengorbankan nyawanya hanya untuk meraih satu gelar yaitu Ibu.
Bandung, 21 April 2009
Rana Setiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk Post-kan komentar:
mulailah mengetik komentar anda kemudian pada kolom select profile pilih Anonymous..(pilih yag lain juga boleh, jika ada. Kemudian Klik 'Poskan komentar'.
Wilujeng!!!