Rindu pada Suatu Haru
Judul : Sakura
Siklus bermekaran bunga sakura terjadi setahun sekali pada musim semi (Haru) di antara akhir bulan Maret sampai awal bulan April, dan aktivitas yang ditunggu ketika itu adalah Hanami. Hanami adalah ritual duduk santai memandangi bunga sakura yang bermekaran. Orang jepang bisa berlama-lama dan sengaja meluangkan waktu menikmati sakura pada suatu Haru. Berbeda dengan siklus yang terjadi di Jepang, bunga sakura yang beberapa tahun belakang hadir di Indonesia, salah satunya di Kebun Raya Cibodas Cianjur, terjadi dua kali antara bulan Januari-Februari serta Agustus-September. Tidak ada kegiatan ber-hanami di sini.
Sakura yang ada di Indonesia, sebagaimana sakura yang mungkin tumbuh di Negara lain, sepertinya hanya sanggup menjadi Cherry Blossom dibandingkan utuh sebagai jati diri Sakura. Cherry Blossom adalah padanan kata untuk Bunga Sakura, namun demikian, seolah bunga Sakura dan Cheery Blossom adalah dua bunga yang berbeda. Bagi Jepang, sakura lebih dari sekedar rumpun bunga. Sakura sanggup menyimpan banyak cinta, harapan, kerinduan. Dan Jepang sanggup pula menjadikan Hanami pada setiap haru begitu melekat. Negara lain boleh memiliki Cherry Blossom, tetapi Sakura Hanya Milik Jepang.
Persoalan mental, etos kerja, kedispilinan, spirit Jepang sebagai sebuah bangsa yang paripurna menegakan peraturan, penghargaan terhadap ilmu, dan disokong perbenturan kebudayaan yang sangat kontradiksi antara Jepang dan Indonesia menjadi pertimbangan lain yang mempengaruhi berbedanya rasa Sakura yang ada di Jepang dan dengan yang ada di Indonesia, contohnya. Terlebih perayaan mereka terhadap kedatangan Sakura yang melekat.
Persoalan-persoalan itulah yang diangkat oleh Nova Ayu Maulita sebagai background cerita yang tertuang dalam novel Sakura ini. Perbedaan nilai lintas negara, keberagaman budaya bahkan terkesan bertentangan, serta faktor keberagamaan yang kompleks diambil dari sudut pandang seorang Muslim yang tidak terjebak pada simbol dan perbincangan yang kaku serta menempatkan Islam yang selalu benar.
Menggunakan judul Sakura, tidak banyak filosofi bunga sakura yang diceritakan dalam novel ini, namun cukup mewakili dan menjadi penggerak cerita untuk menyatakan kerinduan dan harapan. Sakura adalah bunga yang bisa menjadi simbol kerinduan tempat menitipkan cinta.
Satu di antara yang mewakili keterlibatan bunga sakura adalah kebanggaan masyarakat Jepang bahwa bunga sakura hanya milik mereka. Ketika Kirana, yang menjadi tokoh utama, menginginkan untuk membawa sakura ke kampung halamannya di Indonesia dengan iklim dan tentu saja budaya yang berbeda dengan Jepang, Takayama Hiro mengungkapkan kebanggan tersebut dan ketidakbisaannya.
Dalam episode lain, walau Kirana mungkin tahu bahwa botol terisi kelopak sakura yang dia simpan di kamar singgah selama dia berada di Jepang menjelang kepulangan ke Indonesia, bisa saja secara fisik terbuang oleh pemilik asli rumah yang disinggahinya. Namun tanpa kehadirannya pun, Kirana tahu dia telah menitipkan rindu Jepang kepada sakura.
“Titipkan saja cintamu pada sakura. Kemudian datanglah lagi ke Jepang pada suatu Haru nanti!”
***
Kirana Anggraeni berada di jepang hanya untuk waktu yang sebentar. Menjalani program mahasiswa pertukaran di Tokyo Gaikokugo Daigaku. Universitas tempat belajar berbagai bahasa dan budaya asing, termasuk Indonesia. Kirana dibimbing seorang teman sekaligus tutor laki-laki bernama Takayama Hiro, mahasiswa yang mempelajari bahasa indonesia. Selain Hiro, Kirana menjalani kehidupan pertemanan, dan sedikit persinggungan dengan cinta, bersama Andreas, Sandra, Voleak, Wahib, Grace. Mereka mewakili Simbol-simbol kenegaraan dan bahkan keberagaman dan keberagamaan.
Cerita Kirana ketika berada di Jepang sebelum akhirnya kembali pelang ke Indonesia, cukup singkat. Setidaknya hanya terurai dalam delapan bab. Namun demikian, itu cukup untuk menjadi pondasi kuat keberlangsungan cerita, bahkan hal mendasar pembangun emosi terurai pada bab-bab pertama. Kerinduan kembali menginjakkan kaki ke negeri sakura menjadi sangat emosinal, terutama kerinduan akan kebersamaan dengan seseorang yang ditinggalkan dengan segala cita-citanya. Kerinduan yang telah dititipkan kepada kelopak bunga sakura.
Kerinduan tersebut dibalut dengan konflik yang rumit dan beragam dalam bingkai aktifitas Kirana di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) GARIS. Sebuah LSM yang konsen menangani dalam hal perilaku seks bebas di kalangan remaja, dan menyeret Kirana beserta kawan-kawan kampusnya bersinggungan langsung dengan dunia seks bebas. Bahkan karena terlalu dianggap memalukan dan melecehkan ketika hendak mengadakan acara yang mengundang mantan pelaku dan korban seks bebas, GARIS dituntut untuk dibubarkan.
Kerinduan akan pertemuan kembali dengan Hiro mulai dibenturkan dengan perbedaan agama antara dia dengan Hiro yang menjadi tembok besar sesungguhnya dari pada rintangan jarak. Pada bagian ini kirana baru menyadari dan mengakui bahwa kerinduannya yang dititipkan pada sakura, tak hanya tentang kembali ke Jepang. Tetapi juga tentang catatan hati perempuan terhadap seorang laki-laki. Sebagai sebuah pembuktian witing trisno jalaran soko kulino. Dan kenyataan itu tak bisa lagi ditutupi oleh dirinya sendiri saat ayahnya di Dukuh Wanastri menjodohkannya dengan Ridwan.
Saling silang cinta Kirana, Andreas, Candra, Ridwan, dan tentu saja Hiro dijalin dengan apik dan pada titik tertentu tidak tertebak sebelumnya. Kirana mulai mencintai Hiro, begitu pula Hiro, dan saat itu pula Kirana sempat dihubungkan dengan Andreas, temannya semasa di Jepang. Ridwan ditawarkan menjadi suami atas permintaan orang tuanya. Candra hadir mencintai Kirana dan terlintas pula memikirkan Tasya yang seorang pekerja seks sebagai pengganti Kirana jika proposal nikahnya ditolak. Di sisi lain Candra juga merupakan alternatif bagi Kirana sebagai pengganti Ridwan yang tidak dicintainya dan Hiro yang mulai redup peluangnya. Dan kurasa hanya satu penyelesaiannya. Aku memang harus segera memilih satu di antara dua. Begitu tulis Nova Ayu Maulita sebagai bisikan Kirana menjelang bab terakhir.
***
Novel Sakura memberikan ruang kepada pembaca untuk terlibat dalam cerita, selain Point of View yang berubah-ubah, ending secara keseluruhan pun menggoda pembaca untuk ikut menentukan akhir cerita.
Semua nama untuk cinta Kirana pada akhirnya memang mengkerucut pada dua nama. Hiro menjadi salah satunya. Sakura memang memutuskan salah satu dari keduanya, namun penulis tidak menyebutkan nama, sehingga pembaca masih bisa memilih dan menebak-nebak siapa sebenarnya yang pada akhirnya merangkul tangan Kirana untuk berdakwah dan hidup dengan suasana jepang serta sakurannya pada ending yang singkat. Hal tersebut pula membuka peluang bagi pembaca untuk mebalik kembali halaman dan membaca beberapa titik yang bisa menjawab siapakah orang tersebut. Selain itu, bagaimana Hiro yang non-Muslim dan berada di Negara lain bisa menjadi salah satu dari dua kandidat calon suami pilihan Kirana, menarik untuk ditelusuri.
Ruang juga terbuka untuk pembaca karena buku ini berpotensi positif terhadap minat membaca karya sastra lainnya. Ketika film Ada Apa dengan Cinta (AAdC) sukses, berimbas kepada buku kumpulan Puisi Khairil Anwar yang dilibatkan dalam film tersebut menjadi buku yang paling diburu saat itu. Maka bukan tidak mungkin hal itu berlalu pula pada karya tulis, dalam hal ini Novel Sakura yang melibatkan novel Candra Kirana sebuah saduran atas sebuah Cerita Panji karya Ajip Rosidi, sastrawan Indonesia yang lama tinggal di Jepang.
Candra Kirana menjadi salah satu unsur pembangun cerita yang cukup penting selain bunga sakura, yang memperdalam perasaan dan sebuah takdir cinta yang dirasakan sebagai sebuah kebetulan. Dua cinta terhadap dua nama yang hadir dalam cinta Kirana secara tidak langsung diikat oleh buku Candra Kirana yang berkisah tentang Panji Kuda Wening Pati, Sekar Taji, dan Anggraeni. Beberapa nama tokoh bahkan terlihat sama.
Satu fakta budaya menarik tentang membaca pun kembali terbuka ketika Takayama Hiro yang Asli Jepang lah yang justru menunjukan luasnya bacaan dan kecintaan terhadap sastra Indonesia dibandingkan Kirana yang asli orang Indonesia dan lebih pantas untuk memiliki dan membanggakan karya-karya seperti karya Chairil Anwar, Marah Rusli, Sutan Takdir, Ajip Rosidi, dan sebagainya. Pada satu kesempatan di perpustakaaan, Hiro menunjukan novel Candra Kirana yang disukainya kepada Kirana. Entah mungkin karena kesukaannya terhadap Kirana yang menarik minat Hiro sehingga mempunyai perhatian lebih terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan namanya. Kirana.
Novel tersebut terlibat kembali pada kesempatan lain, ketika Kirana mempertimbangkan untuk menerima proposal lamaran dari Candra. Selain memang hatinya sudah terbuka atas kehadiran Candra, Kirana teringat buku Candra Kirana yang membuatnya tersipu membayangkan kecocokan nama. Mungkin memang benar ucapan tokoh kartun rekaan Aoyama Gosho, takdir yang dirasa sebagai sebuah kebetulan itu akan memperdalam cinta. Walau tak ada yang namanya kebetulan. Semuanya sudah diatur oleh yang maha Kuasa. Sebagaimana takdir yang menimpa Panji Kuda Wening Pati, Sekar Taji, dan Anggraeni, dalam cerita Candra Kirana.
Sakura memang sudah menjadi milik Jepang, dengan segala latar belakangnya. Namun Sakura kini memang hadir di Indonesia walau sekedar dengan kehadiran Cherry Blossom serta kehadiran novel yang ditulis Nova Ayu Maulita ini. Rasa Jepang dibawa ke Indonesia berbalutkan Sakura dalam 376 halaman cerita, dengan beberapa titik yang mendetail serta kisah pengiring khas dari kacamata penulis yang sempat tinggal di negara tersebut dan mengalami langsung perbedaan kulturnya dengan Indonesia. Selamat ber-Hanami. Bukan memandangi bunga sakura tetapi membaca Sakura.
Dhanyawan Haflah
Bandung, 20 Februari 2012
*Untuk Lomba Resensi FLP Pusat
adakah yg punya blog atau fb mbak nova ayu maulita, karena novel yg sakura saya buat bahan skripsi jadi perlu data dari nova ayu
BalasHapus