add Facebook admin Haflah Garudany -- Hanya dimengerti ketika terjadi -- Bawalah yang kau temui walau bukan yang kau cari

13 November 2011

Restu


(Cerpen Dhanyawan Haflah*)

Ada yang punya info lowongan? Atau ada yang butuh SDM untuk lembaganya? Ada yang bisa saya bantu?

Status di akun fb-nya kali ini.

Menggunakan layanan social network gratis dari salah satu nomor penyedia layanan, Rahmat tetap terhubung dengan dunia walau sekedar melalui jaringan maya. Sekedar mengucapkan selamat beraktifitas di pagi hari. Mempublish keluh kesahnya, kekonyolan laku hidupnya. Meminta do’a kesuksesan. Semua dilakukan dengan menggunakan jasa gratisan. Seadanya.

Banyak silaturrrahmi banyak rejeki, landasannya. Mencoba untuk tetap meyakini prinsip dasar itu. Setelah menutup kembali akun dan men-charge Hp-nya, Rahmat berbaring. Dipinggir kasur tipis dengan pakaian yang belum sempat diganti. Istrinya masuk, membawakan segelas air putih.

“Gimana?” Tanya istrinya seperti wanita yang telah lama menanti kabar dari jauh yang dibawa pengantar surat.

Tak sabar ingin segera membuka titipan yang dibawanya.

“Ada, de’, tapi itu untuk proyekan bulan depan, masih lama.” Jawabnya dengan nada lemah. “Lagipula itu bukan kerjaan tetap, hanya membantu kepanitiaan program penyuluhan.”

Harus tetap bersyukur, kan?. Gumam sang istri dalam hati. Mencoba tabahkan diri. Jika bersyukur, maka nikmat akan ditambah. Gumam pula hati suami seolah mereka sedang melakukan percakapan dan saling tahu apa yang dipikirkan masing-masingnya. Walau nikmat itu masih sebatas rencana di bulan depan baru bisa diusahakan untuk menjemputnya.

Berbekal janji Tuhan yang jadi prinsipnya di saat tak banyak daya yang bisa dilakukan seperti sekarang ini, Rahmat mengunjungi teman-teman dan mantan-mantan rekan yang sempat kerja bareng. Mulai dari teman masa kuliah, sampai ke rekan rintisan bisnis yang sempat dikenal sampai sebelum dia memutuskan menikah. Sembari menunggu panggilan dari lamaran-lamaran kerja yang tak kunjung memanggil.

Sempat pula Rahmat Silaturrahim dengan mantan Bos yang memutuskan untuk memberhentikan dirinya. Kondisi keuangan dan konflik intern menjadi alasan klasik yang ditawarkan untuk mengobati hati bawahan yang disodori surat pemberhentian kerja.

Orang yang disebutnya bos itu adalah kakak kelasnya sewaktu berkuliah dulu. Bahkan dengannya sudah seperti rekan, dan teman. Banyak program kampus yang mereka terlibat bersama. Setelah lulus kuliah, Rahmat diajak untuk membantu perusahaan yang kini tengah dikembangkannya. Rahmat setuju. Dia memang membutuhkannya. Walaupun sarjana, lagu Sarjana Muda yang dibawakan Iwan Fals sangat cocok baginya pada saat itu.

Bermodalkan pekerjaan yang dipegangnya itu pula, dan dengan gajinya yang hanya bisa disebut seadanya, Rahmat memberanikan diri menikahi Asiyah. Kepercayaan Rahmat pada jatah rejeki Tuhan yang tidak akan salah alamat menguatkan niatnya. Orang-orang yang menikah tanpa punya pekerjaan tetap sebelumnya pun, banyak yang bisa bertahan, dan akhirnya hidup dengan kecukupan, pikirnya.

Lima bulan usia kehamilan istrinya kini, ujian benar-benar menimpa. Semenjak dua bulan yang lalu, pemberhentian resmi diterimanya. Dan selama itu pula, Rahmat mengandalkan sisa-sisa gaji dan tabungan yang terpaksa harus ditarik kembali untuk mengisi kebutuhan sehari-harinya; susu untuk awal kehamilan, suplemen makanan janin, pemeriksaan rutin, dan tentu saja membayar kontrakan. Naas, di bulan kedua ini, tak ada cukup uang lagi untuk kontarakannya. Rahmat pun kembali menumpang di rumah mertua.

Pekerjaan serabutan coba dia tempuh. Dengan bernada guyonan kepada istrinya, dia menyebut kini bekerja sebagai “pria panggilan”. Panggilan terakhir adalah dari kawannya yang menjadi panitia untuk manasik haji tahun ini, dua minggu lalu.

Waktu itu, jadwal “kunjungan” dirinya silaturrahim ke rumah Erwin di daerah Banjaran. Mengetahui kondisi kawannya saat ini, Erwin menawarkan peluang untuk berjualan buku-buku atau ditugaskan menjadi pengatur kendaraan di lokasi manasik.

Mengingat berjualan buku lama lagi prosesnya dengan para agen penerbitan, Rahmat memilih menjadi juru parkir, dengan resiko pendapatan yang untung-untungan. Tergantung pemberian pemilik kendaraan. Belum lagi harus dibagi dengan personel parkir yang lain.

Tak apalah dirinya lapar, yang penting istri harus tetap makan. Harus tetap ada asupan gizi yang cukup yang otomatis diperuntukkan bagi si jabang bayi. Rahmat ingin bayinya sehat, apapun yang harus dilakukannya. Pada tahap perjananan dan taraf kehidupan seperti ini, Rahmat tahu, dia kini merasa semakin sayang kepada istrinya. Bahkan sudah sangat sayang kepada makhluk yang kini belum ada di alam dunia-pun.

***

Selepas maghrib, seolah tak puas mengadu pada Yang Maha Kaya, Maha Memberi, Rahmat menyendiri di teras belakang, beralas tikar, berbungkus kain sarung. Kembali mengadu dan mengatur strategi menjalani sisa hidup dan cara mengambil rejeki, diskusi antara penyedia dan pengguna rejeki.

Do’a orang tua dan istri tak henti dia pinta untuk mendukung kesuksesan. Orang-orang yang dihutangi pun telah dia datangi sekedar meminta do’a agar cepat melunasi. Dan sekarang, tak ada salahnya dia silaturrahmi kembali dengan kawan-kawannya di dunia maya. Mumpung Hp istrinya ini belum sampai dijual juga, menyusul hp miliknya yang telah terlebih dahulu bertukar uang. Tak terpikir baginya menjual motor jadul kesayangan, karena sekarangpun BPKB-nya masih di”sekolah”kan oleh ayahnya di Bank.

Satu pemberitahuan.

Aheyy.

Hanya itu tulisan tertera di bawah status yang diupdatenya terakhir kali, tentang mencari pekerjaan. Rahmat tahu, Agathis adalah akun milik Santi, terlihat dari foto profilnya. Dadanya mendadak serasa ditekan, ada yang mengganjal. Pikirannya menerawang, menerka-nerka. Ada sedikit malu dan rasa bersalah yang baru beriak. Teringat pada satu masa. Sebelum dia menikah.

“Mungkinkah ini bisa membawa pengaruh?” bisik Rahmat untuk dirinya sendiri, di kesunyian yang terlewatkan ,“apa aku terlalu menganggapnya remeh?”

***

Assalamu’alaikum

Hai apa kabar? Lama tak jumpa. Tak kusangka nama pohon itu kau jadikan nama fb-mu.. J

Aku baca komentmu di statusku. Entah mengapa, bagi ku itu bernada seolah hinaan. Sangkaku, sambil menulis itu kau menyumpahiku, dan mengucap syukurmu. Aku menyangkakau mengira aku playboy yang kena batunya. Hidup miskin tanpa kerjaan yang tetap. Istri yang cemberut setiap hari dan menderita. Bersyukur Tuhan memisahkanmu dariku yang mengkhinatimu.

Berawal perkenalan dari fb. Semakin dekat dan rindu. Kita pun bertemu. Aku mengunjungimu di Bandung. Di akhir perpisahan kunjungan balasanmu ke Cianjur , di dekat pohon berlabel Agathis di Kebun Raya Cibodas, kau menitipkan gantungan Hp bentuk bola kecil, dan aku menghadiahkanmu sebuah Novel.

Aku bahagia waktu itu. Mungkin juga dirimu. Mengisyaratkan rasa sayang dan perjumpaan kembali. Sampai masih-masing dari kita, memutuskan hal yang tidak diketahui satu sama lain. Namun, aku menikah. (dan kau tak datang.. J)

Kau sepertinya tahu aku saat ini. Aku mengirimimu pesan pribadi bukan berharap dapat pekerjaan darimu. Aku hanya membutuhkan maaf yang belum sempat kupinta atas ingkar dari janji yang tak terucapkan dan restumu yang belum sempat kau sampaikan di hari pernikahanku.

Aku akan sangat malu jika analisisku ini salah, malu padamu dan pada Tuhanku, telah berburuk sangka atau terlalu percaya diri. Aku berharap kali ini aku akan malu.

Nuhun.. semoga cepat menyusul… J

Rahmat menekan tombol send di layar monitor, dia kirim pesan ke inbox akun Agathis. Pengetikan dia edit sekenanya, pulsa warnet yang dia perhitungkan. Terlalu repot pula jika menulis sebanyak itu di layanan gratis Hp. “Entah berpengaruh atau tidak bagi rejekiku, bukankah menyelesaikan urusan dengan manusia adalah menyambung juga tali itu...?“ gumam dirinya.

Keluar dari bilik warnet, terbayang daftar teman yang memungkinkan untuk dikunjunginya dengan bekal yang semakin menipis, “… hendak menyelesaikan urusan dengan manusia, bukan mengakhirinya.”

***

Bandung, 06 Oktober 2011

*Dhanyawan Haflah, lahir di Bandung, 07 Oktober 1987. Staf Perpustakaan Masjid Salman ITB. Bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung.


2 komentar:

  1. kalem bang... meni rurusuhan kitu cerpen teh.. semakin pendek saja...
    ingat alur, ingat pelan pelan...
    air mengalir tak perlu dilibas jaman menuntut kan?
    ah aku memang tak tahu.. belum tahu...
    tapi cerpen tetap saja cerpen..
    pendek tapi berisi, pendek tapi tetap saja mengalir...
    alirannya bang... selebihnya keren..

    BalasHapus
  2. semacam inilah tuntutan cerpen koran. berusaha cukup memenuhi space kolom sastra; lebih kurang 1000 kata. Ini latihan Proyeksi cerpen koran. :-)

    BalasHapus

Untuk Post-kan komentar:
mulailah mengetik komentar anda kemudian pada kolom select profile pilih Anonymous..(pilih yag lain juga boleh, jika ada. Kemudian Klik 'Poskan komentar'.
Wilujeng!!!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...